PUISI BALADA


PEREMPUAN SIAL
la terbaring di taman tua
pestol di tangan dan lubang di jidatnya

Mereka menemuinya tanpa dukacita
dan angin bau karat tembaga.

Mulutnya mengibit berahi layu
bunga biru dan berbau.

Matanya tidak juga pejam
lain mimpi, lain digenggam.

Ah, tubuhnva! Ah, rambutnya!
Tempat tidur tersia suami tua.

Bunga bagai dia diasuh angin
oleh nasib jatuh ke riba lelaki tua dingin.

Nizar yang menopangnva dari kelayuan
perempuan bagai bunga, lelaki bagai dahan.
Lelaki muda itu bertolak tinggalkan dia
tersisa jantung dan hati dari timah.

la terbaring di taman tua
pestol di tanglan dan lubang di jidatnya.

Suaminya yang tua berkata:
- Farida, engkau ini perempuan sial!  


BALADA SUMILAH
Tubuhnya lilin tersimpan di kerabda
Tapi halusnya putih pergi kembara
Datang yang berkabar bau kemboja
Dari sepotong bumi keramat di bukit
Makam dari bau kemenyan
Sumilah!
Rintihnya tersebar selebar tujuh desa
Dan di ujung setiap rintih diserunya
-Samijo! Samijo!
Bulan akan berkerut wajahnya
Dan angina takut nyuruki atap jerami
Seluruh kandungan malam pada tahu
Roh Sumilah meratap dikungkung rindunya
Pada roh Sumijo kekasihdengan belati pada mata.
Dan sepanjang malam terurai riwayat duka
Bagini mulanya:
Bila pucuk bamboo ngusapi wajah bulan
Ternak rebah dan bunda-bunda nepuki paha anaknya
Dengan kembang-kembang api jatuh peluru meriam pertama
Malam muntahkan serdadu Belanda dari utara
Tumpah darah lelaki
O kuntum-kuntum delima ditebas belato
Dan para pemuda beibukan hutan jati
Tertinggal gadis terbawa hijaunya warna sepi
Demi hati berumahkan tanah ibu
Dan pancuran tempat bercinta
Samijo berperang dan mewarnai malam
Dengn kuntum-kuntum darah
Perhitungan dimulai pada mesiu dan kelewang
Terkunci pintu jendela
Gadis-gadis tertinggal menaikkan kain dada
Ngeri mengepung hidup hari-hari
Segala perang adalah keturunan dendam
Sumber air pancar yang merah
Bebungan berwarna nafsu
Dinginnya angina pucuk pelor, dinginnya mata baja
Reruntuklah semua merunduk
Bahasa dan kata adalah batu yang dungu
Maka satu demi satu meringkas rumah-rumah jadi abu
Dan perawan-perawan menangisi malamnya tak ternilai
Kerna musuh tahu benar arti darah
Memberi minum dari sumber tumpah ruah
Nyawanya kijang diburu terengah-engah
Waktu siang mentari menyedap peluh
Dengan bongkok berjalan nenek suci Hassan Ali
Di satu semak menggumpal daging perawan
Maka diserunya bersama derasnya darah:
-Siapa kamu?
-Daku Sumilah daku mendukung duka!
Belanda berbulu itu membongkar pintu
Dikejar daku putar-putar sumur tapi kukibas dia
-Duhai diperkosanya dikau anak perawan!
-Belum lagi! Demi air daraku merah belum lagi!
Takutku punya dorongan tak tersangka
Tersungkur ia bersama nafsunya kesumur
-O tersobek kulitmu lembut berbungakan darah
Koyak-moyak bajumu muntahkan dadamu
Lenyaplah segala kerna tiada lagi kau pumya
Bunga yang terpitih dengan kelopak-kelopak sutra
-Belum lagi! Demi air daraku merah: belum lagi!
Demi berita noda teramat cepat karena angina sendiri
Di mulut tujuh desa terucap Sumilah dan nodanya
Dan demi berita noda teramat cepat karena angina sendiri
Noda Sumilah terpahat juga di hutan-hutan jati
Lelaki-lelaki letakkan bedil kelewang mengenangnya
Dan Samijo kerahkan segenap butir darah
Lebih setan dari segala kerbau jantan
Bila dukanya terkaca pada bulan keramik putih
Antara bebatang jati dengan rambut tergerai
Sumilah yang malang mendamba Samijonya
Menyuruk musang, burung gandil nyanyikan balada hitam
Satu tokoh menonggak di tempat luang
Dan berseru dengan nada api nyala:
-Berhenti! Sebut namamu!
Terhenti Sumilah serahkan diri ke batang rebah:
-Suaramu berkabar kau Samijo, Samijoku
Daku Sumilah yang malang, Sumilahmu
-Tiada kupunya Sumilah. Sumilahku mati!
-Belum lagi, Samijo! Aku masih dara!
Bulan keramik putih tanpa dara
Warna jingga apimu. Padamkan!
Demi selaput sutraku lembut: belum lagi!
Bulan keramik putih bagai pisau cukur
Sayati awan dan malam yang selalu meratap
Samijo menatap dan menatap amat tajamnya
-Samijo, ambil tetesan darahku pertama
Akan terkecap daraku putih, daramu seorang
Batang demi batang adalah balutan kesepian
Malam mengempa segala terperah sendat napas
Samijo menatap dan menatap amat tajamnya
-Samijo, hentikan penikaman pisau pandang matamu
Kau bantai daku bagai najis, mengorek dena yang tiada
Padamlah padam kemilau yang menuntut dari dendam
Warna pandangnya seolah ungkapan kutuk berkata:
-Jadilah perempuan mandul kerna busuk rahimmu
Jadilah jalang yang ngembara dari hampa ke dosa
Aku kutuki kau demi kata putus nenek moyang!
Tanpa omong dilepas tikaman pandang penghabisan
Lalu berpaling ia menghambur ke jantung hutan jati
Tertingga! Sumilah digayuti koyak-moyaknya
Sedihlah yang bercinta kerna pisah
Lebih sedihlah bila noda terbujur antaranya
Dan segalanya itu tak’kan padam
Kokok ayam jantan esoknya bukanlah tanda menang
Adalah ratap yang juga terbawa oleh kutilang
Karena warga desa jumpai mayat Samijo
Nemani guguran talok depan tangsi Belanda
Merataplah semua meratap
Kerna yang mati menggenggam dendam
Di katup rahang adalah kenekatan linglung tersia
Kerna dendamnya siksa air matanya terus kembara
Menatap kehadiran Sumilah, dinginya tanpa percaya
Dan Sumilah jadi gila terkempa dada oleh siksa
Gadis begitu putih jumpai ajalnya di palung sungai
Sumilah! Sumilah!
Tubuhnya lilin tersimpa di keranda
Tapi halusnya putih pergi kembara
Rintihnya tersebar selebar tujuh desa
Dan di ujung setiap rintih diserunya:
-Samijo! Samijo!
Matamu tuan begitu dingin dan kejam
Pisau baja yang mengorek noda dari dada
Dari tapak tanganmu angina napas neraka
Mendera hatiku berguling lepas dari rongga
Bulan jingga, telaga kepundan jingga
Hentikan, Samijo! Hentikan, ya tuan!




Kepingan Asa Di Pojok Lampu Merah
Sajak : Sang Bayang
Gerilya peluh
menjamah usungan tandu beras.
butiran asa menanti
esok, tanak ditempatnya.
Lampu merah pojok sari,
tempat menggantung mimpi.
dibakar bulatan
karang tekadmu tak resah,
dihadang lelah
memanggul matahari di tiga sisi.
Aku tahu..,
bukan iba maksudmu.
atas tetabuhan genderang siang.
memecah terik,
bersaing lengking pipa berasap.
Menghilang diterpa deru angin dan mesin,
lamban suaramu kembali.
Hentak kakimu panas melindas
jalanan aspal tanpa alas.
saat kausemat mimpi yang tak pernah berjanji.
Diantara lalulalang kotak kotak besi,
menawar kepingan logam dalam jinjingan.
memenuhi takdir,
mengharap esok kembali.
Dalam gemericik gemericik bulatan
lempeng, mengharap sembulan angan
selembar kertas. serupa panen jamur tiram
dikantong plastik tak bertuan.
Wujudkan mimpi menggantung,
dilampu merah pojok sari.
Ambarawa, September 2012
*Episode : Anak Anak Jalanan*
(Dalam Puisi Balada : Kepingan Asa Di Pojok Lampu Merah)



0 Response to "PUISI BALADA"

Posting Komentar

lia. Diberdayakan oleh Blogger.

kursor

Free Banana Dancing ani Cursors at www.totallyfreecursors.com
powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme